PARIMO, KONTEKS SULAWESI – Sorotan tajam kini tertuju pada proses penerbitan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) di Desa Buranga, Kecamatan Ampibabo. Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Parigi Moutong menemukan indikasi kuat adanya prosedur yang terlewatkan dalam penerbitan izin tersebut oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah.
Temuan ini mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar pada Senin (3/2/2025), memicu desakan agar Gubernur Sulawesi Tengah segera melakukan peninjauan ulang.
Rapat yang dipimpin langsung oleh Ketua Komisi III, Mastula, menghadirkan sejumlah pihak terkait, termasuk perwakilan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas Koperasi dan UKM, serta Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Perumahan Rakyat (PUPRP) Kabupaten Parigi Moutong.
Fokus utama pembahasan adalah ketiadaan surat Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) dari Pemerintah Daerah Parigi Moutong sebagai salah satu syarat krusial dalam penerbitan IPR.
“Dari hasil RDP, jelas terungkap bahwa IPR yang sudah diterbitkan oleh provinsi ini belum mengantongi PKKPR dari Pemda Parigi Moutong. Ini adalah persyaratan mendasar yang terabaikan,” ungkap Mastula usai rapat.
Lebih lanjut, Mastula menyoroti lambannya revisi Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Parigi Moutong. Padahal, revisi ini sangat penting untuk menetapkan secara legal Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di tiga desa potensial, termasuk Buranga. Keterlambatan ini semakin memperburuk ketidakpastian hukum terkait aktivitas pertambangan rakyat di wilayah tersebut.
Sebagai respons cepat, Komisi III DPRD Parigi Moutong tidak tinggal diam. Mereka berencana merekomendasikan kepada pimpinan DPRD untuk segera mengirimkan surat resmi kepada Bupati Parigi Moutong. Surat ini bertujuan untuk meminta Bupati melayangkan surat serupa kepada Gubernur Sulawesi Tengah, mendesak peninjauan kembali IPR Buranga yang dianggap cacat prosedur.
Tak hanya di tingkat provinsi, DPRD Parigi Moutong juga berencana melakukan koordinasi dengan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sulawesi Tengah, serta Kementerian ESDM di tingkat pusat. Langkah ini diambil menyusul temuan mengejutkan bahwa penerbitan IPR di Desa Buranga ini, diduga tidak diketahui oleh Kementerian ESDM berdasarkan konsultasi yang telah dilakukan sebelumnya oleh pihak DPRD.
“Kami menduga ada jalur komunikasi yang tidak tepat atau bahkan terputus dalam proses penerbitan IPR ini, sehingga Kementerian ESDM pun tidak mengetahuinya,” ujar Mastula.
Kendati demikian, Mastula menegaskan bahwa langkah yang diambil oleh Komisi III bukanlah bentuk penolakan terhadap aktivitas pertambangan rakyat di Desa Buranga. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa seluruh proses perizinan berjalan transparan, akuntabel, dan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.
“Kami ingin melindungi baik masyarakat penambang maupun lingkungan. Jangan sampai aktivitas pertambangan berjalan tanpa izin yang lengkap dan sah, yang berpotensi menimbulkan masalah hukum dan kerusakan lingkungan di kemudian hari,” tegasnya.
Sebagai langkah antisipatif, Komisi III juga telah meminta Dinas Koperasi dan UKM Parigi Moutong untuk menyampaikan kepada koperasi pemegang IPR agar segera melengkapi seluruh persyaratan perizinan yang kurang, termasuk PKKPR, dalam forum Rapat Anggaran Tahunan (RAT) koperasi. Langkah ini diharapkan dapat menjadi solusi konstruktif jika memang ada itikad baik dari pihak koperasi untuk mematuhi peraturan.
Dengan temuan adanya potensi kejanggalan prosedur penerbitan IPR Buranga, DPRD Parigi Moutong, kini mengambil peran aktif sebagai pengawas kebijakan, mendesak transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses perizinan sumber daya alam di wilayahnya.
“Bola kini berada di tangan Gubernur Sulawesi Tengah, untuk merespons desakan ini dan mengambil langkah konkret demi kepastian hukum dan keberlanjutan lingkungan di Parigi Moutong,” pungkasnya.*/Andi Riskan