PARIMO, KONTEKS SULAWESI – Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Parigi Moutong pada Senin (10/2/2025) berubah menjadi arena interogasi bagi Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (DisKopUKM) terkait polemik Izin Pertambangan Rakyat (IPR) di Desa Buranga.
Sorotan tajam anggota dewan tertuju pada dugaan kuat pelanggaran tata ruang yang mendasari terbitnya izin tersebut, mempertanyakan batas kewenangan dan implikasinya terhadap lahan pertanian berkelanjutan.
Dalam forum yang dipimpin oleh Ketua Komisi II DPRD, Ahmad Arifin Dg Mabela, sejumlah anggota dewan tanpa ragu melontarkan pertanyaan kritis kepada Kepala DisKopUKM Parigi Moutong, Sofiana, yang hadir bersama perwakilan Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) dan Bagian Hukum dan Perundang-undangan (Kumdang) Setda Parigi Moutong.
Anggota Komisi II DPRD Parigi Moutong, Leli Pariani, dengan nada tegas mendesak agar operasi IPR di Desa Buranga segera dihentikan karena dinilai cacat aturan. Leli menyoroti potensi dampak buruk pertambangan terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) yang dilindungi oleh Perda Nomor 4 Tahun 2023.
“Mendirikan koperasi itu butuh modal besar, bisa sampai Rp5 miliar. Jika tidak diatur dengan baik, saya khawatir ada pihak bermodal besar di balik koperasi IPR ini, yang hanya akan mengeruk kekayaan alam kita,” ungkapnya.
Leli juga menekankan bahwa Kecamatan Ampibabo jelas-jelas tidak termasuk dalam kawasan pertambangan sesuai Perda RTRW Kabupaten Parigi Moutong.
Wakil Ketua Komisi II DPRD Parigi Moutong, Mohammad Fadli, mengawali RDP dengan menjelaskan bahwa pemanggilan ini merupakan tindak lanjut dari temuan-temuan sebelumnya, termasuk adanya indikasi bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) Parigi Moutong terkesan tidak dilibatkan dalam penerbitan tiga IPR di Desa Buranga. Bahkan, surat Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Tata Ruang (PKKPR) dari Dinas PUPRP pun tidak ditemukan.
“Kami tidak bermaksud menghalangi, tetapi kami ingin tahu duduk perkaranya. DPRD adalah representasi masyarakat, dan kami berkewajiban memastikan segala aktivitas di daerah ini taat hukum dan memberikan manfaat bagi masyarakat, bukan sebaliknya,” tegas Fadli.
Menjawab cecaran pertanyaan, Kepala DisKopUKM Parigi Moutong, Sofiana, berdalih bahwa pihaknya tidak memiliki kewenangan dalam penerbitan IPR. Perannya terbatas pada membantu pendirian koperasi atas permintaan masyarakat Desa Buranga. Ia mengaku terkejut saat mengetahui adanya proses pengurusan IPR oleh tiga koperasi tersebut dan telah meminta klarifikasi kepada Dinas ESDM Sulawesi Tengah di Palu.
Senada, Kepala Bidang Kelembagaan dan Kelembagaan Koperasi, Zulkarnaen, menambahkan bahwa pihaknya hanya memastikan legalitas pendirian koperasi, sesuai dengan Keputusan Menteri ESDM yang mengharuskan pengelolaan IPR dilakukan oleh pengurus koperasi.
Sementara itu, Plt Sekretaris Dinas PMPTSP Parimo, Nurhayati Yunita, menjelaskan bahwa penerbitan IPR merupakan kewenangan Dinas PMPTSP Provinsi Sulawesi Tengah, dan PKKPR diterbitkan otomatis melalui sistem OSS berdasarkan PP Nomor 5 Tahun 2021. Namun, ia tidak menampik bahwa izin berbasis risiko tersebut dapat dibatalkan jika terdapat data tidak benar atau pelanggaran ketentuan.
Kepala Bagian Kumdang Setda Parimo, Moko Ariyanto, dari sudut pandang hukum, menyatakan bahwa pendirian koperasi di Desa Buranga legal. Dasar hukum penerbitan IPR mengacu pada UU Minerba dan peraturan turunannya, termasuk Keputusan Menteri ESDM Nomor 174 Tahun 2024. Ia juga menyinggung Perda RTRW Provinsi Sulawesi Tengah yang menjadi dasar provinsi dalam menerbitkan IPR, mengisyaratkan perlunya penyesuaian RTRW di tingkat kabupaten.
Pernyataan yang cukup mengejutkan datang dari Anggota DPRD Parimo, Fathia. Berdasarkan konsultasi DPRD Parigi Moutong dengan Dirjen Minerba Kementerian ESDM, terbitnya IPR di Desa Buranga dinyatakan cacat prosedural karena belum tercantum dalam Aplikasi Minerba One Data Indonesia (MODI).
“Seharusnya Perda RTRW kita diubah dulu, baru IPR diterbitkan. Apapun alasannya, kegiatan pertambangan ini tidak bisa dilanjutkan karena cacat prosedural,” tegas Fathia.
Ia juga mendesak agar Pemda dan DPRD segera berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, untuk mencari solusi atas polemik yang berlarut-larut ini.
Laporan : Andi Riskan