WPR Parigi Moutong Janggal, DPRD Soroti Surat Bupati yang Tabrak RTRW

oleh -23 Dilihat
oleh
Ilustasi Tambang. Foto: Istimewa

PARIMO, KONTEKS SULAWESI Polemik Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di Parigi Moutong kembali mencuat. Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Parigi Moutong, Mohamad Fadli, secara tegas menyoroti kejanggalan dalam surat pengusulan WPR yang diteken oleh Bupati pada tahun 2021.

Sorotan tajam ini didasari oleh fakta bahwa surat tersebut terbit setahun setelah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2020-2024, tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Parigi Moutong disahkan.

Dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPRD di Parigi, Senin (10/02/2025), Fadli mempertanyakan secara terbuka alasan pemerintah daerah mengusulkan lokasi WPR yang jelas-jelas tidak termasuk dalam kawasan pertambangan yang telah ditetapkan dalam Perda RTRW.

“Ini sebuah kerancuan yang perlu kita telusuri akar permasalahannya. Mengapa usulan lokasi dan data pendukung pada tahun 2021, justru menyimpang dari RTRW yang sudah berlaku sejak 2020” ungkapnya.

Fokus utama Fadli tertuju pada masuknya Desa Buranga, Kecamatan Ampibabo, dalam surat pengusulan WPR Bupati tahun 2021. Padahal, menurutnya, jika saja WPR tersebut telah diakomodir dalam Perda Nomor 1 Tahun 2023 tentang RTRW Provinsi Sulawesi Tengah, persoalan ini mungkin tidak akan timbul. Meskipun revisi Perda tingkat kabupaten untuk menyesuaikan dengan provinsi dimungkinkan, Fadli menekankan bahwa landasan penerbitan WPR itu sendiri yang menjadi inti permasalahan.

“Persoalannya bukan sekadar penyesuaian RTRW. Kita berbicara tentang dasar hukum terbitnya usulan WPR di tahun 2021. Saat itu, Perda RTRW Kabupaten sudah jelas menetapkan hanya tiga kawasan tambang, yaitu Kasimbar, Taopa, dan Moutong,” tegasnya.

Lebih lanjut, Fadli bahkan menduga adanya indikasi praktik tidak sehat dalam proses pengusulan data lokasi dan pendukung WPR, terutama terkait Desa Buranga. Ia tidak menutup kemungkinan adanya oknum yang menyalahgunakan wewenang dengan menyajikan data lokasi yang bertentangan dengan Perda Nomor 5 Tahun 2020-2024.

“Ini adalah isu krusial yang harus kita jawab bersama. Tanggung jawab terhadap daerah ini ada di pundak kita semua,” imbuhnya.

Selain menyoroti WPR, Fadli juga menyinggung Perda Nomor 4 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Perda Nomor 2 Tahun 2021 mengenai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Penetapan perda pada 5 Oktober 2023 ini merupakan komitmen daerah untuk melindungi lahan pertanian pangan. Ironisnya, Desa Buranga yang dipersoalkan dalam usulan WPR, justru termasuk dalam kawasan LP2B.

Kekhawatiran Fadli semakin mendalam terkait potensi dampak aktivitas pertambangan di Desa Buranga, terutama di area bantaran sungai.

“Seefektif apapun pengawasan Dinas Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah (DisKopUKM) terhadap koperasi pemilik Izin Pertambangan Rakyat (IPR) di Desa Buranga, keberadaan aktivitas tambang di bantaran sungai akan mengancam komitmen kita dalam menjaga LP2B,” jelasnya.

Oleh karena itu, Fadli mendesak agar kejelasan terkait penerbitan IPR di Desa Buranga, segera diusut tuntas.

“Ini harus dijawab secara transparan. Jika memang penerbitan IPR mengacu pada Perda RTRW Provinsi Sulawesi Tengah, maka kejanggalan dalam semua IPR yang terbit perlu diselidiki lebih lanjut,” pungkasnya.

Laporan : Andi Riskan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *