May day 2025, DPD FSPMI Tolak Outsourcing di Parigi Moutong

oleh -153 Dilihat
oleh
Ketua DPD Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (DPD FSPMI) Sulawesi Tengah, Lukius Todama. Foto: Moh Rifai Pakaya

PARIMO, KONTEKS SULAWESI Memperingati Hari Buruh Internasional (May day) yang jatuh pada hari ini, Kamis (1/5/2025), DPD Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menggelar aksi di Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah (Sulteng), dengan fokus utama menolak praktik outsourcing.

Acara yang berlangsung di salah satu Hotel, di Desa Pelawa, Kecamatan Parigi Tengah ini, dihadiri oleh sejumlah anggota serikat pekerja.

Lukius Todama, selaku ketua DPD FSPMI Sulteng, menyoroti adanya perusahaan berbentuk CV yang justru mempekerjakan tenaga kerja melalui sistem outsourcing, yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuan hukum.

“Salah satu perusahaan setingkat CV, yang bermitra dengan pihak pemerintah memberlakukan outsourcing, padahal CV itu tidak berbadan hukum, ini harus menjadi pertimbangan pemerintah, agar tidak dipakai perusahaan semacam itu,” tegasnya.

Sebelumnya, Lukius menyampaikan kebanggaannya terhadap perjuangan para pendahulu buruh, yang berhasil memperjuangkan hari libur internasional bagi pekerja. Lebih lanjut, ia mengungkapkan beberapa tuntutan utama serikat pekerja pada peringatan May day kali ini.

“Kami melontarkan beberapa tuntutan diantaranya menolak outsourcing, meningkatkan upah layak, serta memberikan kesejukan dan kenyamanan bagi Asisten Rumah Tangga (ART) agar hak mereka juga terpenuhi,” ungkapnya.

Sorotan tajam juga diarahkan kepada perlakuan sejumlah perusahaan di Parimo terhadap pekerjanya. Lukius mengungkapkan keprihatinannya atas laporan pekerja yang hanya menerima Tunjangan Hari Raya (THR) berupa minuman dan kue dengan nilai yang jauh di bawah standar.

“Kami akan melakukan hearing ke DPRD, karena kesengsaraan buruh selama berkerja, terutama saat hari raya Idul Fitri kemarin, salah satu pekerja mendapatkan THR hanya berupa sebotol minuman dan kue. Jadi kue itu dikisaran harga Rp10 ribu dan jika ditambah dengan minuman yang harganya juga Rp10 ribu, berarti hanya Rp20 ribu total yang diberikan kepada mereka. Sementara, hak mereka berdasarkan upah minimum kabupaten itu di angka Rp2.915.000 ribu, sementara dari pihak perusahaan memberikan upah sebesar Rp1.500.000 ribu,” imbuhnya.

Ia mendesak agar perusahaan memberikan upah sesuai dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) yang telah ditetapkan, serta mendorong pemerintah daerah untuk memperketat regulasi terhadap perusahaan yang beroperasi di Parimo.

“Untuk itu kami mendorong pemerintah kedepan, agar supaya betul betul diperketat lagi peraturan untuk perusahaan yang ada di kabupaten Parimo ini, jangan diberikan ruang bergerak, jika mereka tak melengkapi syarat maupun norma kerja,” paparnya.

Lebih lanjut,  kata ia, terdapat sejumlah pelanggaran norma kerja yang ditemukan di beberapa perusahaan, meliputi, tidak adanya laporan wajib tenaga kerja, serta tidak adanya kontrak kerja yang sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Lukius turut menyoroti kerjasama antara Rumah Sakit Anuntaloko dengan perusahaan yang dinilai tidak layak. Rencananya, DPD FSPMI akan melakukan hearing dengan DPRD setempat, untuk mempertanyakan berbagai persoalan ketenagakerjaan ini.

“Olehnya kami mendorong kedepan, agar bupati terpilih membuat Perbup terkait perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Parimo. Salah satunya, pihak perusahaan wajib memiliki kantor perwakilan di wilayah ini. Agar ketika terjadi perselisihan, ada tempat kita untuk melakukan koordinasi, dan untuk perusahaan yang tidak melengkapi syarat, tidak boleh beroperasi di sini,” tuturnya.

Ia pun menyesalkan, rendahnya upah yang diterima sebagian pekerja di Parimo, yang bahkan di bawah UMK yang telah ditetapkan sebesar Rp2.915.000 ribu. Lukius juga menyayangkan atas lemahnya pengawasan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Parimo, terhadap kepatuhan perusahaan atas peraturan ketenagakerjaan, termasuk pendaftaran pekerja dalam program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.

“Dinas Nakertrans Parimo, betul betul tidak maksimal dalam melakukan monitoring ke perusahaan-perusahaan, karena masih banyak juga perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya di BPJS ketenagakerjaan, maupun BPJS kesehatan, dan alasan perusahaan tidak mendaftarkan pekerja ke dinas kesehatan, karena sudah ada BPJS yang diberikan oleh pemerintah. Ini yang tidak boleh,” pungkasnya.

Laporan : Andi Riskan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *