PARIMO, KONTEKS SULAWESI – Hujan deras yang mengguyur wilayah Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah, sejak pertengahan Maret lalu memicu serangkaian bencana banjir yang mengharuskan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat menetapkan tiga kali status tanggap darurat di sejumlah desa terdampak.
Ditemui di ruang kerjanya pada, Rabu (14/5/2025), Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPBD Parimo, Rivai, memaparkan secara rinci rentetan kejadian dan langkah cepat yang telah diambil pihaknya.
“Sejak Maret, kami telah menetapkan tiga status tanggap darurat. Pertama di Desa Bambasiang, Kecamatan Palasa, pada 14 Maret. Disusul Desa Pandailalap, Kecamatan Moutong, pada 15 April. Dan terakhir, 17 April di Desa Pebo’unang, Palasa,” ujar Rivai.
Menurutnya, bencana paling parah terjadi di Pandailalap. Selain banjir yang terus berulang, kondisi semakin memburuk akibat jebolnya tanggul pada 13 April yang membuat warga terpapar penyakit kulit.
“Karena itu kami libatkan Dinas Kesehatan untuk tangani masalah kesehatan, dan BPBD turun untuk pembuatan talut,” tambah Rivai.
Di wilayah Pebo’unang, situasi lebih mengkhawatirkan. Enam rumah mengalami rusak berat dan dua rusak ringan. BPBD, bersama Dinas Sosial dan Ketahanan Pangan, memberikan bantuan darurat seperti tenda, selimut, paket kebutuhan dasar, hingga makanan siap saji selama 14 hari kepada 33 jiwa atau tujuh kepala keluarga.
Tak hanya itu, BPBD juga mengupayakan pembangunan jembatan darurat di Dusun Satu. Namun di Dusun Lima, rencana pembangunan serupa terpaksa ditunda karena banjir kembali menerjang.
“Kami hanya bisa beri kawat bronjong ke ibu camat, nanti mereka yang bangun,” katanya.
Rivai menjelaskan, kendala terbesar saat ini adalah ketersediaan lahan untuk pembangunan hunian tetap (huntap) bagi warga yang kehilangan tempat tinggal. Syarat dari BNPB menyebutkan, lahan harus tersedia dan tidak boleh berada di lokasi rawan bencana.
“Di Pebo’unang itu di pinggir sungai. Nggak mungkin bangun di situ lagi. Tapi untuk pindah, perlu lahan baru yang harus disediakan pemerintah daerah atau desa,” jelasnya.
Ia mencontohkan kasus serupa di Toribulu yang hingga kini belum selesai karena desa tak memiliki lahan pengganti. Meski begitu, Rivai menegaskan pihaknya siap mengajukan permohonan ke pemerintah pusat jika syarat terpenuhi.
“Kami perlu duduk bersama Pemda, desa, dan semua pihak terkait. Harus ada surat pernyataan resmi dan lahan yang aman,” tutupnya.
Laporan : Tommy Noho