PARIMO, KONTEKS SULAWESI – Polemik baru mencuat dari Desa Sipayo, Kecamatan Sidoan, Kabupaten Parigi Moutong (Parimo). Kepala desa setempat, Nurdin Ilo Ilo, diduga menabrak aturan dengan menerbitkan surat bercap resmi yang menetapkan pungutan Rp10 juta per unit alat berat bagi para pelaku Pertambangan Tanpa Izin (PETI).
Langkah sang kepala desa sontak menuai kritik. Pasalnya, surat pungutan tersebut seolah memberi ruang legal bagi aktivitas PETI yang jelas-jelas melanggar hukum. Bahkan, keputusan itu lahir dari musyawarah desa yang seharusnya tidak berwenang mengatur urusan pertambangan ilegal.
Tokoh pemuda Desa Sipayo, Rizky, menegaskan bahwa kebijakan tersebut tidak bisa dibenarkan.
“Ada upaya melegalkan PETI, itu tidak benar menurut saya, karena ini tidak dalam ranah pemerintah desa. Belum lagi persoalan pungutan itu, tidak memiliki dasar. Kami sudah berupaya mengingatkan itu tapi tidak diindahkan,” ujarnya.
Rizky menambahkan, kesepakatan pungutan Rp10 juta per alat berat itu dibahas dalam rapat desa pada Sabtu, 16 Agustus 2025. Rapat tersebut dihadiri Kades, Sekdes, Ketua BPD, sejumlah tokoh masyarakat, bahkan para pengusaha PETI Sipayo.
“Dalam rapat saya sempat mengkritisi itu, malah Kades bilang jangan terlalu kritis, tidak usah pikirkan sepuluh tahun ke depan. Karena belum tentu kita hidup saat itu,” ungkapnya.
Dalam forum tersebut, Kepala Desa Sipayo juga menekankan bahwa wilayah pertambangan yang dimaksud berada di area administratif desa. Ia bahkan menyinggung soal pembukaan jalan menuju lokasi tambang, dengan alasan desa lain sudah melakukan hal serupa.
“Menurut Kades, kita di Desa Sipayo rugi kalau tidak memanfaatkan adanya pertambangan ini,” jelas Rizky menirukan pernyataan sang kades.
Sikap itu diamini Ketua BPD Sipayo, yang turut mendukung rencana pembukaan akses jalan tambang. Sejumlah warga pun terbagi, sebagian menyetujui, sementara yang lain menyatakan penolakan. Namun, hasil akhir musyawarah menyepakati bahwa aktivitas pertambangan tetap berjalan dengan kontribusi Rp10 juta per unit serta pengaturan giliran mingguan bagi kelompok masyarakat.
Mirisnya, kesepakatan tersebut akhirnya diteguhkan lewat tanda tangan Kepala Desa, Ketua BPD, dan sejumlah perwakilan warga. Surat resmi dengan cap desa itulah yang kini menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
Hingga berita ini diterbitkan, Kepala Desa Sipayo, Nurdin Ilo Ilo, belum memberikan tanggapan saat dikonfirmasi terkait dasar hukum maupun regulasi yang melatarbelakangi surat pungutan tersebut.
“Justru kebijakan ini hanya akan melahirkan praktik pungli dan menambah keruwetan persoalan PETI di Sipayo,” pungkas Rizky.
Laporan: TIM








