PARIMO, KONTEKS SULAWESI – Di tengah krisis kepercayaan publik, langkah Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) mengusulkan pembentukan Wilayah Pertambangan (WP) dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) justru menimbulkan gelombang kritik keras. Kebijakan yang dinilai tergesa-gesa, minim transparansi, serta sarat kepentingan politik dan ekonomi itu disebut-sebut menjadi potret buram birokrasi yang makin jauh dari aspirasi rakyat.
Alih-alih menunjukkan kehati-hatian dalam kebijakan strategis, Pemda Parimo justru dinilai mengabaikan suara masyarakat dan ancaman kerusakan lingkungan yang terus mengintai. Keputusan tersebut, menurut sejumlah aktivis, memperlihatkan bagaimana kepentingan elit politik lebih diutamakan daripada keselamatan sosial-ekologis rakyat Parimo.
“Usulan WP dan WPR ini bukan sekadar soal tambang, tapi soal nasib rakyat dan masa depan lingkungan. Pemerintah seolah buta terhadap dampak yang akan ditanggung masyarakat di sekitar wilayah tambang,” ujar Satrio, Ketua Umum Kesatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia Parigi Moutong (KPMIPM).
Ketua Umum KPMIPM itu menilai, proses penentuan titik-titik tambang dilakukan tanpa kajian sosial maupun ekologis yang matang, serta tanpa melibatkan partisipasi publik, prinsip dasar yang seharusnya melekat dalam setiap kebijakan publik.
“Ironis, dari 16 titik usulan sebelumnya kini melonjak menjadi 53 titik. Ini bukan sekadar perluasan wilayah tambang, tetapi sinyal kuat adanya dugaan manipulasi data dan kepentingan tersembunyi di balik meja kekuasaan,” ungkap Satrio menambahkan.
Lebih lanjut, ia mendesak Bupati Parigi Moutong agar segera mencabut usulan WP dan WPR tersebut. Menurutnya, kebijakan itu tidak hanya cacat prosedural, tetapi juga berpotensi membuka jalan bagi praktik eksploitasi liar yang selama ini telah merusak ekosistem dan menindas masyarakat sekitar tambang.
Satrio juga mempertanyakan dasar hukum kebijakan itu yang masih berpijak pada Perda tahun 2020, sementara revisinya belum rampung di DPRD.
“Kalau regulasi belum selesai, kenapa Pemda terburu-buru mendorong usulan tambang baru? Apakah ini benar untuk kepentingan rakyat, atau justru demi kepentingan oligarki?” katanya penuh sindiran.
Lebih jauh, ia menyoroti pernyataan kontroversial Bupati terkait dugaan sabotase dokumen usulan WP dan WPR. Alih-alih memberi kejelasan, pernyataan itu justru memunculkan lebih banyak pertanyaan. Jika benar ada sabotase, Satrio menilai, seharusnya kasus itu diungkap secara terbuka, bukan hanya dijadikan alasan untuk menutupi kekacauan internal.
“Kalau memang ada oknum yang menyabotase dokumen tersebut, Bupati harus berani bertindak. Pecat mereka! Jangan hanya pandai melempar tuduhan tanpa bukti,” tegasnya.
Sebagai langkah akhir, Satrio menyerukan Gubernur Sulawesi Tengah untuk turun tangan membatalkan seluruh usulan penerbitan WP dan WPR di Kabupaten Parigi Moutong. Menurutnya, langkah itu penting untuk mencegah kerusakan lingkungan dan konflik sosial yang lebih dalam.
“Sebelum bumi dan rakyat Parimo kembali menjadi korban dari keputusan yang lahir tanpa nurani, Gubernur harus segera menghentikannya,” pungkas Satrio.
Laporan: Tommy Noho