Tambang Rakyat Kayuboko, Alat Berat Bekerja di Atas Izin yang Belum Ada

oleh -2243 Dilihat
oleh
Sejumlah warga dan aparat tampak berada di area tambang Kayuboko, Kecamatan Parigi Barat, Kabupaten Parigi Moutong. Di lokasi terpasang spanduk imbauan dari Ditreskrimsus Polda Sulteng bertuliskan “Stop Illegal Mining”, sebagai peringatan terhadap aktivitas pertambangan tanpa izin di wilayah tersebut. Foto: Konteks Sulawesi
Sejumlah warga dan aparat tampak berada di area tambang Kayuboko, Kecamatan Parigi Barat, Kabupaten Parigi Moutong. Di lokasi terpasang spanduk imbauan dari Ditreskrimsus Polda Sulteng bertuliskan “Stop Illegal Mining”, sebagai peringatan terhadap aktivitas pertambangan tanpa izin di wilayah tersebut. Foto: Konteks Sulawesi

PARIMO, KONTEKS SULAWESI Suara mesin ekskavator meraung di perbukitan Kayuboko, Kecamatan Parigi Barat. Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), batuan dikeruk, dan air sungai berubah cokelat pekat. Ironinya, semua aktivitas itu berjalan hanya mengandalkan Koperasi dan Penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) tanpa izin resmi IPR.

Di area yang seharusnya menjadi wilayah pertambangan rakyat (WPR), kini beroperasi puluhan alat berat dari berbagai kelompok koperasi. Namun, di balik label “koperasi rakyat”, aroma bisnis besar justru tercium tajam.

Padahal di lokasi terpasang spanduk imbauan dari Ditreskrimsus Polda Sulteng bertuliskan “Stop Illegal Mining”, sebagai peringatan terhadap aktivitas pertambangan tanpa izin di wilayah tersebut.

Koperasi di Atas Kertas, Pengusaha di Lapangan

Sekretaris Kecamatan Parigi Barat, Jalaludin, menjadi salah satu pejabat yang pertama kali angkat suara. Ia dengan tegas meminta agar tambang di Kayuboko ditutup sementara hingga izin pertambangan rakyat (IPR) benar-benar terbit.

“Dalam satu koperasi seharusnya hanya ada satu unit alat berat. Tapi di Kayuboko, puluhan alat beroperasi bersamaan. Ini jelas melampaui aturan operasional koperasi,” ujarnya saat mendampingi kunjungan Bupati Parigi Moutong (Parimo), Erwin Burase, di Desa Air Panas, Selasa (14/10/2025).

Baca Juga:  Disketapang Parigi Moutong Sambut Program MBG Dengan Misi Asta Cita

Pernyataan Jalaludin membuka tabir baru, bahwa sistem koperasi yang disebut sebagai pengelola tambang rakyat itu hanya formalitas administratif. Faktanya, sejumlah koperasi disebut telah disusupi pihak ketiga yang memiliki modal besar dan jaringan alat berat sendiri.

“Masalah administrasi dan wilayah seharusnya dibicarakan langsung dengan Bupati, bukan dijalankan diam-diam. Kami hanya minta semua pihak mematuhi prosedur,” kata Jalaludin.

Izin Belum Terbit, Aktivitas Jalan Terus

Masalah tambang Kayuboko mencuat ke permukaan dalam rapat resmi Satgas Penanggulangan Ilegal Fishing dan Ilegal Mining, di ruang rapat Bupati Parimo, Senin (27/10/2025). Dalam rapat itu, terungkap fakta yang menggelitik, Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di Kayuboko dan Air Panas memang sudah ditetapkan pemerintah. Namun, Izin Pertambangan Rakyat (IPR) untuk dua lokasi itu belum juga diterbitkan.

Baca Juga:  Peringati Hari Kartini, GOW Parigi Moutong Berkomitmen Cegah Pernikahan Anak

Kendati demikian, aktivitas tambang tetap berlangsung seolah tanpa hambatan. Truk pengangkut tanah melintas setiap hari, dan puluhan pekerja menggali material dengan pengawasan minim.

“Selama izin belum keluar, maka aktivitas di sana tetap dikategorikan ilegal. Kami menunggu proses perizinan selesai sesuai aturan yang berlaku,” kata Bupati Parimo.

Diamnya Birokrasi dan Bayang Kepentingan

Pemerintah daerah tampak gamang. Di satu sisi, mereka tahu aktivitas tambang tanpa izin adalah pelanggaran hukum. Di sisi lain, ada tekanan ekonomi dan kepentingan politik yang menyertai. Tambang Kayuboko telah menjadi sumber nafkah bagi banyak warga, tapi sekaligus ladang emas bagi segelintir pemilik modal.

Sumber di internal pemerintah mengakui, koordinasi antarinstansi berjalan lamban. Penegakan aturan acap kali tersandera oleh tarik-menarik kepentingan antara pejabat daerah, aparat keamanan, dan pengusaha lokal.

“Setiap kali dibicarakan soal penertiban, selalu muncul alasan menunggu izin. Tapi di lapangan, alat berat tidak pernah berhenti,” ujar seorang pejabat yang enggan disebut namanya.

Baca Juga:  Bupati Parimo Buka Workshop Bawang Goreng dan Luncurkan Sertifikat Halal

Dampak Lingkungan Mengintai

Sementara itu, warga sekitar mulai merasakan dampaknya. Sungai yang dulu jernih kini berwarna kecokelatan. Lahan pertanian di bantaran sungai Air Panas mulai rusak.

“Air sudah tidak bisa dipakai mencuci. Kalau hujan, tanah longsor,” keluh seorang warga desa Air Panas pada kunjungan tersebut.

Belum ada kajian resmi tentang dampak ekologis dari tambang Kayuboko. Namun, jejak kerusakan sudah terlihat kasat mata, sedimentasi di sungai meningkat, hutan terbuka, dan jalur air alami terganggu.

Antara Hukum dan Kepentingan

Sementara itu, Ketua Front Pemuda Kaili (FPK) Arifin Lamalindu secara tegas mengatakan, Kasus Kayuboko memperlihatkan paradoks lama, pemerintah tahu aktivitasnya ilegal, tapi tak kunjung bertindak tegas. Peraturan yang semestinya melindungi rakyat justru jadi tameng bagi pengusaha untuk tetap beroperasi. Di Kayuboko, suara ekskavator terus bergema. Hukum belum hadir, tapi emas tetap digali.

“Kami tidak menolak tambang rakyat. Tapi selama izinnya belum sah, itu tetap ilegal,” pungkasnya.

Laporan: Tommy Noho

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *