PARIMO, KONTEKS SULAWESI – Upaya menghadirkan hukum yang lebih adil dan humanis kembali ditegaskan di Kabupaten Parigi Moutong (Parimo). Pemerintah Kabupaten Parimo bersama Kejaksaan Negeri Parimo resmi menandatangani nota kesepakatan terkait pelaksanaan sanksi sosial berbasis restoratif justice, Senin (15/9/2025), di Ruang Rapat Kejari Parimo.
Nota kesepakatan ini mengatur mekanisme penghentian perkara dengan penerapan sanksi sosial bagi pelaku tindak pidana umum tertentu yang diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif.
“Konsep restoratif justice ini bukan hanya fokus kepada pemberian hukuman, tetapi juga mengutamakan pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat,” ujar Gubernur Sulawesi Tengah, H Anwar Hafid, dalam sambutannya yang disampaikan secara daring dan luring.
Menurutnya, pendekatan ini dapat mengurangi dampak negatif dari proses pemidanaan yang berlarut-larut.
“Sekaligus memberi kesempatan kepada pelaku tindak pidana ringan untuk memperbaiki diri dan bertanggung jawab secara sosial tanpa kehilangan masa depan mereka,” imbuhnya.
Dalam penandatanganan tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Parimo Purnama bertindak sebagai pihak pertama, sementara Pemerintah Kabupaten Parimo diwakili Wakil Bupati Abdul Sahid sebagai pihak kedua.
Kejari Parigi Moutong menegaskan, mekanisme restoratif justice ini berlaku untuk perkara dengan kriteria tertentu, seperti pelaku yang baru pertama kali melakukan tindak pidana, tindak pidana dengan ancaman hukuman tidak lebih dari lima tahun, serta kerugian korban tidak lebih dari Rp2,5 juta.
Gubernur Anwar Hafid menyampaikan apresiasinya atas inisiatif Kejaksaan Tinggi Sulteng yang membuka ruang kolaborasi hukum dan pemerintah daerah. Menurutnya, sinergi ini penting dalam menciptakan peradilan yang bukan hanya menegakkan hukum, tetapi juga menumbuhkan kesadaran hukum serta memperkuat tatanan sosial masyarakat.
Pemerintah Provinsi, lanjutnya, akan mendukung penuh mekanisme sanksi sosial ini melalui penyediaan sarana dan prasarana, pendampingan sosial, serta melibatkan lembaga kemasyarakatan, pemerintah desa, dan kelurahan sebagai bagian dari ekosistem restoratif.
“Kita berharap dengan adanya nota kesepakatan ini, tercipta keselarasan antara tujuan penegakan hukum dan pembangunan sosial di daerah. Karena sejatinya hukum hadir tidak untuk menghukum, tetapi juga untuk membina dan memanusiakan manusia,” pungkasnya.
Laporan: Tommy Noho