Faktor Ini Jadikan Aktivitas Pertambangan di Sulteng Tuai Protes Masyarakat

oleh -500 Dilihat
oleh
Faktor Ini Jadikan Aktivitas Pertambangan di Sulteng Tuai Protes Masyarakat
Ilustrasi pertambangan nikel. Foto: Dok. PT Vale Indonesia Tbk

PALU, KONTEKS SULAWESI Seiring dampak negatif lingkungan yang terus terjadi, dorongan pengelolaan tambang dengan mengedepankan asas berkelanjutan di Sulawesi Tengah (Sulteng), semakin dilantangkan. Aktivitas pertambangan yang kebanyakan tidak mementingkan aspek alam dan sosial di wilayah ini, menjadi persoalan berlarut di kalangan masyarakat.

Sulteng yang sejatinya merupakan wilayah kaya akan nikel, kini menghadapi dilema besar dalam menemukan jalan tengah, antara menggali sebanyak-banyaknya sumber daya alam tersebut atau membatasi aktivitas pertambangan untuk menjaga lingkungan tetap asri.

Pasalnya pemanfaatan nikel secara maksimal dinilai bisa meningkatkan perekonomian Sulteng, terbukti komoditas ini kerap menjadi salah satu penyumbang ekspor paling besar. Di sisi lain, isu lingkungan juga sering disuarakan mengingat berhubungan erat dengan kelangsungan hidup dan masa depan generasi mendatang.

Maka dari itu, beberapa kalangan menawarkan solusi agar kedua aspek tersebut harus terjaga tanpa mengorbankan satu sama lain. Tentunya hal ini memerlukan keseriusan. Sebab demikian, perusahaan pertambangan kini dituntut untuk mulai berkomitmen menerapkan pengelolaan secara berkelanjutan.

Head of Communications PT Vale Indonesia Tbk (PT Vale) Suparam Bayu Aji mengatakan, pada umumnya, nikel di Indonesia, termasuk di Sulteng, berjenis laterit atau endapan yang berasal dari proses pelapukan (laterisasi) pada batuan induk (batuan ultramafik). Jenis ini memiliki tantangan besar dalam pengelolaan air. Sehingga saat proses penambangan, air di lokasi bisa menjadi keruh dan mencemari lingkungan sekitar. Oleh karena itu, perusahaan tambang harus menggunakan kolam pengendapan untuk menyaring cemaran sebelum air kembali ke lingkungan.

”Di Sorowako, kami memiliki 120 kolam pengendapan. Hasilnya bisa dilihat di Danau Matano yang masih jernih hingga saat ini. Metode serupa akan kami terapkan di Morowali, bahkan sebelum aktivitas tambang dimulai,” ungkap Bayu kepada media di Palu, belum lama ini.

Tampak kejernihan air Danau Matano di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, yang berdekatan dengan aktivitas pertambangan nikel. Foto: Dok. PT Vale Indonesia Tbk

Bayu menambahkan, Danau Matano yang selama ini menjadi wadah limpasan air tambang, terbukti memiliki kualitas air yang sangat baik.

Dari hasil uji laboratorium, total suspended solid (TSS) air danau tersebut lebih rendah dibandingkan air minum kemasan. Ia juga mengungkapkan, hingga saat ini kejernihan Danau Matano tetap terjaga dan masih menjadi sumber air minum bagi warga sekitar. Hal ini menunjukkan komitmen PT Vale dalam menerapkan pertambangan berkelanjutan.

“Ini bukti bahwa tambang kita, kalau dikelola dengan baik tidak menghasilkan air yang coklat. Kami buktikan selama lima dekade beroperasi di Sorowako, termasuk diantaranya dengan menggunakan teknologi pengelolaan air minum untuk mengelola air tambang di LGS,” paparnya.

Akademisi Ekonomi Universitas Tadulako, Mohammad Ahlis Djirimu menyatakan, banyaknya pertambangan termasuk nikel di Sulteng, telah menyebabkan laju deforestasi yang tinggi. Sekitar lebih dari 200.000 hektare lahan di wilayah ini dijadikan konsesi untuk pertambangan. Akibatnya, pencemaran air, banjir, dan longsor semakin sering terjadi, serta mengancam keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat.

“Kondisi ini jelas mengancam keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat,” jelasnya.

Menurut Ahlis, pertambangan nikel telah memberikan dampak ekonomi yang baik bagi Sulteng. Hampir separuh cadangan nikel dunia berada di wilayah ini dan Maluku Utara, yang membuat Sulteng memiliki masa depan cerah dalam menopang ekonomi daerah dan nasional.

Meskipun memberi dampak ekonomi yang menjanjikan, pengelolaan pertambangan juga harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat lokal dan keberlanjutan lingkungan.

“Jika itu tidak dijaga, maka yang terjadi ke depan hanya menyisakan sisi negatifnya saja,” tuturnya.

Maka dari itu, pengelolaan tambang secara berkelanjutan perlu dimunculkan kepada setiap perusahaan, untuk menjamin adanya penutupan lahan tambang melalui berbagai inisiasi, misal reklamasi dan rehabilitasi. Selain itu, koordinasi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat sangat penting untuk mengelola pertambangan dengan bijaksana.

“Dalam menghadapi tantangan ini, perlu adanya transparansi, partisipasi masyarakat, dan pengawasan ketat, agar pertambangan di Sulteng dapat memberikan manfaat ekonomi tanpa mengorbankan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat,” pungkas Ahlis.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *