PALU, KONTEKS SULAWESI – Media diseluruh wilayah Indonesia berperan penting sebagai ujung tombak untuk memperkenalkan manfaat transisi energi ke masyarakat.
Namun faktanya, isu energi baru terbarukan itu belum menjadi fokus utama media dalam publikasinya, khususnya di wilayah Sulawesi Tengah (Sulteng). Padahal, di daerah ini ada puluhan perusahaan media cetak dan ratusan perusahaan media siber atau online.
Untuk mengatasi persoalan ini, maka organisasi media di Sulteng terdiri dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Pewarta Foto Indonesia (PFI) serta Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) bersama menggagas sebuah kegiatan dengan mengangkat isu “Aksi Media untuk Perubahan Iklim dan Energi Baru Terbarukan” melalui Festival Media tahunan yang telah kali kedua dilaksanakan.
Festival media kali ini diisi dengan pembicara dari Kementerian ESDM, perusahaan energi, dan jurnalis. Kegiatan ini juga sebagai ajang berbagi perspektif, pengetahuan, dan komitmen sejumlah perusahaan menyikapi perubahan iklim serta sadar untuk berkontribusi dalam upaya meminimalisasi kerusakan lingkungan.
Ketua AMSI Sulteng Mohammad Iqbal mengatakan, sesuai dengan fungsinya untuk mengedukasi masyarakat, media juga memiliki tugas penting untuk memberi pemahaman yang luas dan benar tentang transisi energi ke tengah publik.
“Karena dengan media yang fokus kepada isu transisi energi, akan mampu memobilisasi dukungan masyarakat dan percepatan upaya dekarbonisasi sistem energi di Indonesia,” terang Iqbal saat menjadi narasumber dialog Pengembangan Energi Baru Terbarukan pada Festival Media II di Taman Gor Palu, Senin (11/12/2023).
Menurut jurnalis senior Sulteng itu, berdasarkan data yang mereka kumpulkan di AMSI, secara nasional tidak dipungkiri bahwa masih sedikit media di Indonesia yang secara khusus fokus pada isu transisi energi, termasuk di Sulawesi Tengah.
Bahkan, kata Iqbal, sejauh ini media hanya melihat isu transisi energi belum begitu menarik, sehingga publikasinya hanya di tingkat permukaan tanpa menggalinya dan konsen melaporkannya kepada masyarakat.
“Padahal isu transisi energi itu sangat penting untuk dikawal media,” tegas Iqbal.
Dengan demikian, koresponden CNN Indonesia itu meminta ke seluruh media di wilayah Sulawsi Tengah, ke depan perlu secara masif menyuarakan isu transisi energi.
“Transisi energi bukan hanya menjadi isu nasional, namun secara masif sudah dikampanyekan secara global. Oleh karena itu, penting media di Indonesia fokus kesana,” ungkapnya.
Diketahui bersama,pada 2021 konsumsi kebutuhan listrik Indonesia telah mencapai 255,1 Terra Watt Hour (TWH) dan diperkirakan bahwa total kebutuhan listrik pada tahun 2060 nanti dapat berkisar hingga 1.885 TWH atau lebih dari 6 kali lipat.
Hal ini membuat pemerintah terus mempercepat program penambahan pembangkit-pembangkit listrik baru.
Tercatat, pemerintah menargetkan untuk membangun pembangkit listrik hingga kapasitas 41 ribu Megawatt pada tahun 2030.
Dalam melaksanakan target ini, pemerintah melakukan penekanan pada potensi Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
Langkah itu dilakukan untuk mengurangi emisi karbon yang dapat bermuara kepada perubahan iklim. Namun, dalam pelaksanaan fokus pengembangan teknologi EBT, masih ada permasalahan terkait pendanaan dan juga harga jualnya.
Ini diakibatkan oleh mahalnya penerapan energi bersih untuk kebutuhan kelistrikan. Salah satu contohnya dapat dilihat dari pelaksanaan teknologi panel surya.
Berdasarkan analisa PLN, biaya solar panel mencapai US$4 sen/KWH.
Selain itu, diperlukan teknologi solid state battery storage agar pembangkit dapat beroperasi selama 24 jam sehari. Namun harga baterai masih sangat tinggi mencapai US$13 sen/KWH.
Alhasil, harga perangkat PLTS bersama teknologi baterai dapat mencapai US$17-18 sen/KWH. Angka ini jauh lebih mahal dibandingkan pembangkit listrik batu bara (PLTU) sekitar US$6 sen/KWH.
“Festival media ini merupakan respons dan ikhtiar jurnalis menyusul kebutuhan energi serta perubahan iklim tengah terjadi secara global, dan dirasakan pula di Sulteng,” pungkasnya.
Laporan : Abdul Farid